Newsflash
Jakarta, 17/4/2013 (Kominfonewscenter) – Komisi V DPR menilai program penataan kawasan kumuh oleh Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) di Provinsi NTB sudah cukup baik, pembangunan jalan, saluran air, penerangan jalan umum (PJU) dan MCK Komunal dirasa sangat positif untuk pengembangan sebuah kawasan. |
PEMBANGUNAN SMELTER KTI MASIH TERKENDALA MAHALNYA BIAYA ENERGI |
Monday, 12 August 2013 21:40 |
Jakarta, 12/8/2013 (Kominfonewscenter) – Dalam perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) peran sektor pertambangan mencapai 18,1%, sementara pangsanya terhadap sektor pertambangan nasional sekitar 43,4%. Bank Indonesia membagi analisis ekonomi daerah dalam empat kawasan, masing-masing Kawasan Sumatera (Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Lampung, Sumatera Barat, Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Riau); Kawasan Jakarta (Provinsi DKI Jakarta); Kawasan Jawa (provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta); Kawasan Timur Indonesia (provinsi Bali, NTB, dan NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat). KEKR triwulan II-2013 Bank Indonesia menyebutkan, pembangunan smelter di KTI masih terkendala oleh mahalnya biaya energi. Kementerian ESDM mencatat telah ada 158 perusahaan tambang di seluruh Indonesia telah mengurus pembangunan smelter. Investasi pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) tambang mineral dinilai kurang ekonomis karena ketersediaan tenaga listrik yang minim, sementara untuk membangun pembangkit listrik membutuhkan biaya besar. Investasi pembangunan pembangkit diperkirakan mencapai US$1 juta per 1 megawatt (MW) listrik - untuk mengolah 10 ribu-40 ribu ton mineral dibutuhkan tenaga listrik hingga 400 MW. Meski demikian, beberapa perusahaan telah bekerja sama dengan PLN meningkatan kapasitas energi listrik. Investasi pembangunan smelter mencapai Rp36 triliun yang diperkirakan akan dapat mengolah setara 2,7 juta ton bijih nikel. Komoditas tambang utama di KTI yaitu batubara (di Kalimantan), tembaga (di Papua dan Nusa Tenggara Barat), nikel (di Sulawesi Selatan), dan LNG (di Papua). Selama ini ekspor nikel dan tembaga masih dalam bentuk mentah (bijih), volume bijih nikel dan tembaga yang diekspor lebih dari 650 kali lipat dibanding volume produk olahan nikel dan tembaga. Sumbangan komoditas tambang terhadap ekspor KTI cukup tinggi mencapai 77,0%. Selama lima terakhir, sektor pertambangan merupakan sektor yang pertumbuhannya paling fluktuatif. Perkembangan sektor ini sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti harga komoditas dunia; permintaan dunia, maupun faktor domestik seperti kondisi sosial; keamanan; cuaca; kebijakan dan lain-lain. Akselerasi pertumbuhan dapat mencapai 13,4% (yoy) pada triwulan I 2007, namun juga pernah mencapai angka paling rendah -7,8% (yoy) yang terjadi pada triwulan I 2008 akibat turunnya permintaan luar negeri terkait krisis ekonomi global. Tingkat fluktuasi sektor pertambangan tergambar dari nilai standard deviasi (simpangan) sektor pertambangan yang dapat bergerak dalam kisaran 5,7%, sehingga bias pertumbuhan sektor pertambangan KTI antar periode bisa cukup lebar. Dampak kebijakan Pemerintah terkait nilai tambah tambang mineral terutama pada perusahaan-perusahaan tambang skala menengah ke bawah. Kebijakan tersebut terkait Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.7/2012 sebagaimana diubah Permen ESDM No.11/2012 tentang Nilai Tambah Mineral dan Peraturan Menteri Perdagangan No.29/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan Peraturan Menteri Keuangan No.75/2012 mengenai Penetapan Harga Ekspor untuk Penghitungan Bea Keluar. Hal ini terjadi karena umumnya perusahan-perusahaan tersebut melakukan ekspor produk tambang berupa bijih (belum mengalami pengolahan/penambahan nilai), sementara perusahaan-perusahaan besar tidak mengalami dampak negatif sebesar perusahaan tambang menengah. Dengan penerapan peraturan tersebut, perusahaan besar hanya mengalami dampak negatif berupa pembayaran bea keluar dan royalti. Untuk sementara perusahaan tambang masih diperkenankan melakukan ekspor berupa bahan mentah sampai dengan tahun 2014 dengan dikenakan bea keluar sebesar 20%. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perusahaan pertambangan nikel untuk meningkatkan memanfaatkan produksi nikel sebelum Peraturan Pemerintah tersebut diterapkan secara sempurna tahun 2014 sebagaimana yang terjadi di Sulawesi Tengah. (mnry) |
Statistik
Members : 23Content : 3176
Web Links : 1
Content View Hits : 489184